Keep Shining, You Deserve It
(Review Film Kembang Api)
Termakan bujuk rayu Adiba, "Ma, ada film bagus.
Yang main Hanggini". Meluncurlah kami berdua ke bioskop kesayangan di kota
tercinta, Banjarnegara 🥰.
Seperti biasa, agak deg-degan pas mau nonton, khawatir nggak diputar jika
penontonnya kurang dari lima. Alhamdulillah, meski head to head dengan Virgo
and The Sparklings, Kembang Api bisa kami nyalakan dengan enam penonton 🤗. Nyariiisss 😅😅.
Adaptasi film
Jepang
Sebelum
nonton, berbekal review di Twitter, saya cukup penasaran dengan film ini. Di
tengah gempuran film horor, cerita putih abu-abu dengan segala dinamikanya,
atau kisah marriage life, Kembang Api hadir membawa warna baru. Film yang
merupakan adaptasi resmi dari karya sineas Jepang Yoshio Kato berjudul 3ft Ball
& Souls yang rilis pada tahun 2017 lalu, mengangkat tema tentang kesehatan
mental.
Nonton
film ini jadi ingat Drama Korea Nine dengan time travel-nya. Bedanya, film
Kembang Api ini menggunakan time loop. Apa beda time travel dan time loop?.
Nonton aja biar tau bedanya🙂.
Intinya sama-sama tentang waktu, yang kadang ingin kita lipat biar cepat
terlewat semua yang bikin penat atau kadang ingin kembali ke masa lampau, agar
bisa memperbaiki sesuatu yang membuat galau.
Fahmi,
Sukma, Raga dan Anggun, empat manusia yang bertemu dengan tujuan yang sama,
ingin melakukan suicide. Depresi, tertekan, bullying, membuat mereka putus asa
dan mengambil jalan pintas yang menurut mereka bisa mengakhiri penderitaan
yaitu dengan melakukan bunuh diri.
Cerita
dikemas dengan sangat menarik dan tidak membosankan, walaupun setting tempat,
sembilan puluh persen di sebuah gudang tua plus time loop yang membuat beberapa
adegan dan dialog diulang beberapa kali. Yang semakin membuat penasaran tentu
saja saat mereka berempat terjebak time loop. Pengulangan-pengulangan
tersebut--yang kemudian menjadi konflik utama dari film berdurasi seratus empat
menit ini-- menggelinding seperti bola salju yang semakin lama semakin besar,
membuat cerita semakin berkembang hingga mencapai puncak konflik.
pict from ig-nya falconpictures
Mental health
Mau sungkem
sama yang bikin skenario sama nulis script. Kereeen bangeeet. Btw, jadi ingat
salah satu bagian di novel Heartbreak Motel karya Mbak Ika Natassa, ada kalimat
begini "Jika skenario diibaratkan peta, maka sutradara menjadi nahkoda,
kru menjadi pengayuh dan pemain menjadi kapal yang membawa kisah itu ke
tujuannya, mengarungi alam cerita sebagai samudranya" (Heartbreak Motel:
37). IMHO, film ini sukses sampai ke tujuan, yakni menyampaikan pesan with full
of soul dari para pemainnya. Skenario keren, script mantap, lalu dieksekusi
dengan baik oleh para aktor hingga akhirnya menghasilkan tontonan yang
mempesona.
Konflik dengan tema mental health di Kembang Api dikemas dalam alur dan dialog yang keren, relate
dengan kehidupan sehari-hari. Seperti yang dialami oleh keempat karakter utama
di film ini. Berbeda persoalan, namun sama-sama berpengaruh terhadap kesehatan
mental masing-masing. Sehingga mereka sepakat untuk mengakhiri hidup karena tak
sanggup lagi menahan semua hantaman persoalan. Selama 'menyalakan' Kembang
Api, saya seperti diingatkan kembali bahwa terkadang hidup membawa kita pada
situasi yang membuat kesehatan mental terpuruk. Entah gagal, kecewa, tertekan
dengan keadaan atau denial dengan suatu fakta menyakitkan yang kemudian
berujung pada menyalahkan diri sendiri. Lantas, apa yang bisa kita
lakukan ketika ada di posisi serupa?. Sepelik apapun, seburuk apapun, bunuh diri sudah pasti bukan merupakan jalan keluar.
Selesai
nonton Kembang Api, selain membuka kembali wawasan tentang mental health, saya
pun 'melihat' ke dalam diri. Seringkali tanpa disadari dan tanpa bermaksud menyakiti, kita berucap begini, "Ah, gitu aja
baper" atau "Dasar lemah, aku pernah ngalamin yang lebih berat dari
itu, tapi aku baik-baik aja." Atau mungkin "Santai aja, gitu aja
dipikirin. Hidup jangan dibikin ribet".
Hai bestie,
kondisi kesehatan mental seseorang itu tidak sama. Benar bahwa tiap orang punya
'aplikasi baper' di hati. Tapi levelnya berbeda antara satu orang dengan yang
lain. Jangan kita seenaknya men-judge seseorang itu lemah atau baperan. Kita
tidak pernah tau apa yang telah atau sedang dilalui seseorang. Dan seberapa
berat perjuangan dia untuk bertahan di tengah konflik yang sedang dialami.
Cobalah berempati dan jadilah pendengar yang baik bagi seseorang yang mungkin
sedang butuh didengar bukan malah di-judgemental😊.
Sampai di bagian akhir film, pas liat credit tittle, rasanya ikut legaaa.
Berasa banget berselancar di lautan emosi yang up and down-nya sampai ke hati.
Terpuruk, terperosok ke titik terendah hidup hingga nyaris bunuh diri, fase
penerimaan, berdamai dengan keadaan sampai tiba di muara yang memang
se-worth-it itu untuk mereka. Serasa pengen bilang ke mereka berempat,
"You deserve it guys." 🥰🥰😍 (nggak mau
spoiler, tapi saya suka banget endingnya. Maafkeeunn saya yang sok-sok an
misterius perihal ending. Padahal udah banyak spoiler di mana-mana😅).
Pada
akhirnya ingatlah selalu untuk tidak pernah menyerah apalagi berbalik arah di setiap masalah. Tak apa kita jatuh, yang penting ingat untuk bangkit dan melangkah lagi. Bukan masalah berapa kali kita jatuh, yang penting seberapa kuat tekad kita untuk bangkit setelahnya. Just remember, proses adalah progress, maka jangan pernah protes kepadaNya.
Ujian yang diberikan, pasti sudah disesuaikan dengan kemampuan. Allah SWT tidak
pernah salah meletakkan beban di pundak seseorang🥰😇.
Eksekusi yang mumpuni
Sutradara
yang handal (two thumbs up untuk sutradaranya, Herwin Novianto), skenario dan
script yang bagus, dieksekusi dengan briliant oleh Ringgo Agus, Marsha Timothy,
Doni Damara dan Hanggini. Pernah dengar ungkapan ini, "tokoh (karakter)
akan memilih aktornya". It works di mereka berempat. Benar-benar sukses
memerankan tokoh yang sedang mengalami gejolak emosi yang cukup hebat. Nonton
film ini berasa dapat mata kuliah tentang ilmu psikologi. Tentang bagaimana
meregulasi emosi dengan baik (Meski awalnya denial. Tapi denial pun adalah bagian awal dari meregulasi emosi ya) . Empat karakter ini sukses mendeliver frustasi,
depresi, hopeless, tertekan dan semua rasa terpuruk lain melalui ekspresi,
dialog, gesture, mimik wajah dengan elegan. Bukan depresi frustasi yang menye-menye
gitu.
Untuk Doni,
Ringgo dan Marsha, ini bukan kali pertama saya menonton karya mereka. Tapi
Hanggini, ini pertama kalinya saya menonton filmnya (Udah banyak film Hanggini.
Saya aja yang belum nonton 🙏🏼🙂).
Hanggini ini favorit Adiba banget. Cantik, suara bagus, akting keren. Paket
komplit. Dan di Kembang Api ini, aktingnya juaraaa😍. Bisa nge-blend
dengan senior-senior yang udah lebih dulu nyemplung di dunia seni peran. Good
job, Jeha. Ditunggu film-film selanjutnya.
Over all 8,5/10 untuk Kembang Api. Selamat menonton.
💜 Banjarnegara, Maret 2023
Komentar
Posting Komentar