Tikungan
Tajam di Sepertiga Malam
Ruang Semesta
Selalu terkesima dengan cara kerja semesta
diam-diam lalu tiba-tiba ada
tak kuduga secepat ini engkau hadir
bismillah ya, aku dan kamu
sehidup sesurga
"Om,
ingat temanku, Bulan?" tanya Panji sambil menyeduh kopi hitam,
mengaduk dan menghirup aromanya. Pagi dan kopi menjadi ritual Panji untuk
mengawali hari.
"Anak tetangga sebelah rumah?." Bumi menjawab di tengah
aktivitasnya di Dapur Ibu. Sesekali obrolan mereka diselingi instruksi
Bumi kepada pegawainya.
"Exactly.
Waktu TK, mau ada pentas di sekolah, aku pake kostum tentara, Bulan pake kostum
dokter, lalu..."
"Kamu batal berangkat gara-gara kostumnya ketumpahan susu." Bumi memotong kalimat Panji. Ia tersenyum mengingat moment itu. Dulu, setiap libur sekolah, Bumi selalu berkunjung ke Jakarta, ke tempat sang kakak, Rania. Pagi itu, Panji dan Bulan yang masih duduk di bangku TK akan berangkat sekolah diantar Bumi. Karena tergesa, susu yang diminum Panji tumpah dan membasahi kostum yang sedang dikenakan. Panji pun tantrum dan mogok berangkat.
"Bulan
beneran jadi dokter"
"Oya?"
"Masih
co ass. Hari ini rencananya aku
mau ketemu"
"Dia
kuliah di sini?."
"Yoi"
"Dulu
pindah kemana?" tanya Bumi sebelum mencicip gudeg krecek yang baru matang.
Approved. Ia lalu memberi tanda dengan ibu jari dan dengan sigap salah
satu pegawai Dapur Ibu memindahkannya ke pan stainless steel
berukuran besar dan membawanya ke depan.
"Malang.
Aku juga baru ketemu dia lagi di Instagram. Oleh sebab itu, Paduka Raja
Rajendra Bumi , hamba sebagai rakyat jelata mau meminjam mobil. Apakah
diizinkan?" Seloroh Panji seolah menjadi rakyat yang sedang menghadap
baginda raja. Beberapa pegawai yang kebetulan berada di Dapur Ibu menahan
tawa melihat tingkah Panji.
"Pake
aja, Jarjit" jawab Bumi diiringi tawa lepas para pegawainya.
Matahari mulai meninggi saat Bumi selesai dengan aktivitas di Dapur Ibu. Sedikit tergesa ia kembali ke rumah. "Kunci mobil ada di meja. Kalo mau makan, ke depan saja." Ucap Bumi kepada Panji. Selesai minum kopi, Panji bergegas kembali ke rumah yang terletak di bagian belakang Dapur Ibu. Pamitnya, 'bakar lemak pake treadmill', faktanya kasur di depan tv lebih memikat hati Panji.
"WhatsApp
dari mama kamu belum dibalas?" Bumi baru menerima pesan dari Rania,
lengkap dengan screenshoot yang menunjukkan pesan Rania belum dibaca
oleh Panji.
Tak lama berselang, Panji terlihat mengetik sesuatu di ponselnya. Tujuh pesan dan dua panggilan tak terjawab belum direspon. Pantas saja Rania meneror Bumi.
Rania
sering berkeluh kesah kepada Bumi perihal Panji dan skripsinya. Dalam salah
satu curhatnya, Rania bahkan berujar bahwa ia akan menarik semua fasilitas yang
diberikan kepada Panji jika tidak bisa menyelesaikan skripsi pada semester ini.
"Skripsi
apa kabar?" tanya Bumi akhirnya. Dari awal Panji tiba di Jogja, belum
sekalipun Bumi membahas perihal ini.
"Skripsi baik, Om. Sehat wal afiat" jawab Panji santai. "On process. Kendala tetap ada. Makanya ini aku ke Jogja dalam rangka hibernasi sekalian mencari inspirasi. Menulis skripsi itu nggak mudah. Om tau itu kan?. Butuh mood bagus biar lancar." Panji dan pembelaan diri.
Kalimat
Panji mengalihkan fokus Bumi sejenak dari ponselnya. "Halaman persembahan. Don't worry, nama Om ada di dalamnya"
"Thank
you, i appreciate it" ujar Bumi menahan tawa. Semoga kedatangan Panji
ke Jogja adalah langkah yang tepat. Bumi berharap Panji benar-benar mendapatkan
apa yang ia butuhkan.
Bumi
segera bergegas. Ada beberapa tempat yang harus dikunjungi. Dan sebelum jam
makan siang, ia harus segera kembali ke Dapur Ibu.
"Om!"
teriak Panji dari depan pintu. Bumi sudah berada di atas motor dan siap melaju.
Panji
berjalan mendekat dengan langkah sedikit terburu. Agaknya ada hal penting yang
akan ia sampaikan.
"Om
punya mantan?". Bumi segera menyadari strategi serangan balik Panji.
Ia paham betul sifat keponakannya ini. Saat disinggung tentang skripsi, maka
Panji akan melakukan serangan balik lewat jalur pasangan hidup.
Sebelum
Bumi menjawab, Panji sudah kembali berucap, "Kalo Om prihatin dengan
skripsiku, aku juga prihatin dengan jodoh Om. Ini jangan-jangan terakhir kali
Om putus itu bukan sama mantan ya, tapi sama tali pusar Om, ketika bayi
dulu"
Nah
kan
Panji
langsung berbalik arah lari masuk ke dalam rumah dengan tawanya yang sungguh
renyah.
***
"Mas,
maaf itu helm saya" Bumi menoleh ke arah sumber suara.
"Ya?"
"Itu
helm saya" ulangnya.
Bumi
melihat ke arah motor. Helm hitam ada di atasnya. Sedangkan helm di tangannya
ia ambil begitu saja dari atas etalase apotek yang baru saja ia datangi.
"Maaf
Mbak. Bumi menyerahkan another black helmet kepada
mbak berjaket ungu. Setelah meminta maaf sekali lagi, ia segera melajukan
motornya. Sepanjang jalan, Rajendra Bumi menertawakan kecerobohannya sendiri
mengambil helm orang lain.
Salah
satu keuntungan menggunakan motor adalah lebih leluasa melewati jalan kecil
untuk memotong jarak, mempercepat sampai ke tujuan. Itulah mengapa Bumi memilih
menggunakan motor untuk mengunjungi beberapa panti asuhan hari ini. Sebuah
rutinitas yang selalu Bumi lakukan sepeninggal sang ibu. Setidaknya ada lima
panti asuhan di mana keluarga Bumi menjadi salah satu donaturnya.
"Terimakasih banyak Nak Bumi.
Semoga menjadi amal jariyah untuk almarhumah Bu Sekar. Lain kali telepon saja,
biar kami ambil ke rumah" ucap Bu Ningrum, pengurus Panti Asuhan Renjana.
“Nggak
apa-apa ibu, sekalian silaturahmi. Kalau panti butuh sesuatu, jangan sungkan
hubungi saya ya. Barangkali saya bisa bantu.”
Bu
Ningrum mengangguk haru. Meski Sekar sudah tiada, putranya tetap
melakukan kebaikan seperti yang ia lakukan dulu.
Bumi
dan Bu Ningrum masih mengobrol saat seseorang mengucap salam.
"Assalamualaikum..."
"Waalaiksalam.
Nak Anggi, langsung masuk saja ya. Anak-anak sudah menunggu di dalam" Bu
Ningrum mempersilahkan Anggi masuk ke ruang tengah.
Bumi
dan Anggi saling senyum, menyapa melalui anggukan. Keduanya sedikit terkejut
saat menyadari bahwa mereka berdua sudah bertemu di depan apotek tadi. Bumi
bermaksud menyapa secara langsung, namun suara riuh anak-anak menyambut
gadis tadi mengurungkan niatnya.
"Nak Anggi teman dokter Safina. Sering kesini, bantu anak-anak belajar." Bu Ningrum menjawab pertanyaan Bumi yang belum sempat terucap. Dokter Safina adalah dokter yang rutin memeriksa kesehatan anak-anak panti.
"Dokter di Medika Insani juga?" tanya Bumi. Dulu sewaktu Sekar masih hidup, Bumi rutin mengantar sang ibu untuk kontrol di rumah sakit tempat dokter Safina bekerja.
"Masih co ass, tapi hampir selesai sepertinya. Seminggu ini sudah masuk stase terakhir. Sudah cukup lama sejak terakhir kali Nak Anggi kesini. Makanya anak-anak sangat antusias" lanjut Bu Ningrum menjelaskan gadis bernama Anggi itu.
***
Sebelum
jam makan siang, Bumi sudah tiba kembali di rumah. Ia segera menuju Dapur
Ibu. Meskipun ada orang kepercayaan, tetapi untuk racikan bumbu tetap Bumi
yang memegang kendali. Kebiasaan Bumi sejak kecil membantu Sekar memasak tidak
sia-sia. Rania bahkan mengakui, kemampuan memasaknya jauh di bawah Bumi.
Setelah
Sekar wafat, ia menerima estafet kepemimpinan rumah makan tersebut. Tak hanya
itu, semua bisnis keluarga juga dia yang mengambil alih. Meski itu artinya Bumi
harus menyimpan ijazah sarjana yang ia raih dan mengubur impiannya untuk
mengambil master. Rania pernah mengusulkan agar manajemen usaha keluarganya
dipercayakan kepada seseorang yang capable dan mempersilahkan sang adik
untuk melanjutkan kuliah. Namun Bumi menolak. Ia merasa harus ada yang
bertanggungjawab mengelola bisnis yang telah dirintis ayah dan ibunya. Dan
jika Rania tidak bisa, maka Bumi yang akan melakukannya.
Bumi
mengernyit heran saat mobil hitam miliknya masih ada di garasi.
"Rud,
Panji nggak jadi pergi?. Mobil masih ada". Bumi bertanya kepada Rudi,
salah satu pegawainya.
"Nggak
jadi, Mas. Dari tadi nggak ada yang pake mobil"
Detik berikutnya, Bumi tenggelam dalam kesibukan di Dapur Ibu. Saat jam makan seperti ini, jumlah pengunjung meningkat, tak jarang Bumi turun tangan langsung melayani pembeli.
Setelah
jam makan siang usai, Bumi meluncur ke percetakan. Entah bagaimana dulu ayah
dan ibunya merintis keempat bisnis ini; rumah makan, tempat kost, minimarket
dan percetakan. Semua lokasinya sangat strategis. Rumah makan dan tempat kost
berada di satu area yang sama, berjarak kurang lebih lima kilometer dari
percetakan dan minimarket yang juga bersebelahan. Empat usaha, meskipun di dua
lokasi yang berbeda, cukup memudahkan Bumi untuk memantau semuanya.
***
"Rencanaku juga gitu, Om. Ini hibernasi dulu. Mundur selangkah untuk maju melesat." kata Panji penuh semangat. Ia sedang membaca sesuatu dari ponselnya.
"Artikel bagus, Om" Panji menunjukkan sebuah artikel di kanal media online kepada Bumi. "I'm in. Stuck nggak tau mau ngapain. Kayak muter-muter di labirin tanpa tahu arah, tanpa petunjuk apapun. I'ts called quarter life crisis."
Bumi mengangguk-anggukan kepala usai membaca artikel yang ditunjukkan Panji. "It’s Okay"
"Oke
gimana?" tatap Panji heran.
"It's okay to not be okay. Namanya manusia, pasti ada up and down-nya." Panji tampak belum puas dengan jawaban Bumi. "Perasaan kamu itu valid. Sah-sah aja. Ada banyak orang yang ngelewatin fase ini juga. Terima keadaan dan berdamai dengan itu. Take your time. Pelan-pelan lihat lagi goals kamu. Lalu ambil langkah pertama untuk maju, keluar dari labirin. Kamu nggak mau kan muter-muter terus di labirin?" lanjut Bumi.
Diamnya
Panji membawa angin segar bagi Bumi. Sepertinya durasi quarter life crisis
versi Panji tidak akan memakan waktu terlalu lama.
"Jogja adalah tempat yang paling tepat untuk hibernasi. Aku sedang melakukan apa yang Om sebut dengan menerima keadaan." Kalimat Panji membuat Bumi meralat pemikirannya sendiri. Tidak secepat itu ternyata Panji melewati qurter life crisis-nya. Masih di fase awal, fase menerima keadaan.
"Menerima dan menikmati, lama-lama jadi nyaman. Be careful, dude. Jangan terlalu nyaman, nanti bisa lupa dengan tujuan" ucap Bumi mengingatkan.
Bumi dan Panji masih melanjutkan obrolan hingga larut. Dan seperti biasa, saat topik skripsi menjadi bahasan utama, maka intermezo dari Panji adalah seputar jodoh Bumi.
"Hati Om apa kabar?"
Bumi tak langsung menjawab. Ia merebahkan badannya di sofa, mencoba beristirahat setelah aktivitas seharian. "Baik"
"Baik, tapi sepi ya, Om." Panji menahan tawa saat mengatakannya.
Bumi yakin kalimat Panji masih ada kelanjutannya.
"Rumah aja kalo lama nggak berpenghuni bisa jadi rumah hantu. Apalagi hati. Apa kabar hati yang kosong bertahun-tahun?" Sebuah bantal sofa pun mendarat mulus di wajah Panji.
***
"Panggil
‘Om’ aja Kak Anggi, jangan ‘Mas’", Dani, salah satu penghuni panti meralat
sapaan Anggi kepada Bumi.
"Oke,
Om Bumi, gitu ya?" Anggi tersenyum mengabulkan permintaan Dani. Bocah enam
tahun itu tersenyum lebar dan mengangkat ibu jari tangan kanannya.
Anggi
tiba di panti saat Bumi sedang menurunkan beberapa kardus berisi buku. Wajah
Anggi tampak lelah sekali. Namun Bumi melihat Anggi tetap ceria melayani
celoteh anak-anak panti.
Ini
adalah pertemuan ketiga mereka setelah peristiwa helm, dan saat Bumi
mengantar uang donasi tempo hari. Bumi dan Anggi lalu berbincang layaknya
sahabat yang lama tak bersua.
Beberapa
hari lalu, Bu Ningrum mengirim pesan dan menanyakan apakah Bumi bisa membantu
pengadaan buku bacaan untuk anak-anak panti. Dengan senang hati Bumi
memfasilitasi untuk mencarikannya. Dibantu beberapa rekannya, Bumi berhasil
membawa tiga kardus besar buku bacaan untuk anak panti, sebagian buku baru,
sebagian lagi buku bekas.
"Wah,
anak-anak senang sekali Mas Bumi. Bukunya banyak banget" ucap Anggi
takjub.
"Tuh
kan, 'Mas' lagi. 'Om', Kak. 'Om Bumi'" Dani kembali menegur Anggi.
"Iya
iya, lupa. Maaf ya" Anggi dan senyumnya membuat sore itu sangat cerah
meski di luar, awan mendung mulai menggantung.
"Nak
Anggi, tolong gendong Nay sebentar ya" Bu Ningrum menyerahkan balita satu
tahun itu kepada Anggi.
"Iya
Ibu. Sini anak cantik, sama Kak Anggi ya" Anggi mengambil Nay dari
gendongan Bu Ningrum.
"Diminum
Om." ucap Anggi sambil menggendong Nay. Ia menawarkan secangkir teh dan
kue yang baru saja disajikan.
Bumi tersenyum mendengar sapaan Anggi terhadapnya. Anggi yang melihat gelagat itu langsung berucap, "Daripada ditegur Dani"
Anak-anak panti sibuk menata buku-buku di rak. Celoteh dan riuh suara tawa menggema di seantero bangunan panti ini. Bumi merasakan kenyamanan dan kedamaian setiap kali berkunjung ke panti. Apalagi saat ada kesempatan bertemu dengan para penghuninya. Such a beautiful moment. Hangat dan damai.
"Nay
tidur?" tanya Bumi basa-basi. Padahal jelas terlihat balita itu memejamkan
matanya. Anggi menjawab dengan sebuah anggukan.
"Sedang
sakit dia," Anggi dan Bumi sama-menatap wajah cantik Nay.
"Nay
ini..." Bumi belum selesai bertanya, Anggi sudah memberikan jawabannya.
"Down
syndrome" jawab Anggi. Bumi notice dari awal, ada yang berbeda
dengan Nay. Ternyata benar seperti dugaannya.
"Dia
ditinggal di depan pintu panti, saat masih bayi." lirih suara Anggi
menjelaskan asal-usul Nay. "Om tahu, kenapa disebut down syndrome?"
tanya Anggi tiba-tiba.
"Ya
karena artinya maaf, sesuatu yang di bawah rata-rata, keterbelakangan or
something like that."
Anggi
tersenyum dengan jenis senyuman yang mampu meluluh lantakkan hati. Bumi mengalihkan pandangan dengan mengambil
cangkir teh, meneguk setengah isinya.
"Sebenarnya
bukan. Down Syndrome itu asal kata dari penemu syndrome ini, John
Langdon Down, seorang dokter dari Inggris. Thats why, disebut down
syndrome." terang Anggi. "Mereka ini anak-anak surga"
lanjutnya seraya mengusap kepala Nay dengan lembut lalu mengecup kening balita
cantik yang tengah terlelap di pangkuannya.
Bahagia
itu sederhana. Sesederhana Bumi melewatkan senja bersama Anggi dan anak-anak
panti. Lots of happiness.
***
"Waktunya
susah match, Om" jawab Panji saat ditanya kenapa selalu batal
setiap kali janjian dengan Bulan.
"Yang
pertama, karena dia mendadak ada acara. Yang kedua, pas dia bisa, aku telat
buka DM. Ketiduran" lanjutnya.
"DM?.
Kenapa nggak WhatsApp?"
"Itu
dia, Om. Udah minta, tapi belum dikasih. DM aja lama banget dibalasnya. Anak
kedokteran memang susah ada waktu kosong kayaknya" ucap Panji.
“Bukan
anak sosmed mungkin”
“Iya Om. Dia pernah bilang gitu di
DM. Sebatas punya akun aja, jarang posting.”
Obrolan
Bumi dan Panji terhenti lantaran Rudi memberi tahu ada seseorang yang datang
mencarinya.
***
“Sorry ya, nggak bisa antar ke
stasiun.”
“It’s
oke Om. Makasih banyak buat semuanya. Tunggu update terbaru di group WhatsApp
keluarga.”
“Update
apa?”
“Soon,
aku wisuda” ucapnya percaya diri.
“Aamiin”
meskipun Bumi ragu hal itu bisa terjadi dalam waktu dekat. But, who knows
di balik rebahan, scrolling Instagram dan sesekali nongkrong di
Malioboro, membuat seorang Panji Pradana terinspirasi untuk segera mengambil
langkah pertama melewati quarter life crisis ini.
***
24.00
Kriiing
kriing kriing kriiing kriing
Kriiing
kriing kriing kriiing kriing
Bumi terperanjat kaget bercampur heran saat mendengar
suara jam weker berbunyi. Kaget karena suaranya dan heran karena ia merasa tak
memiliki jam weker. Dengan terhuyung sembari mengumpulkan kesadarannya, ia
bangun dan mencari sumber suara agar segera bisa mematikannya. Namun ia
kemudian menyadari bahwa bunyi alarm ini berasal dari beberapa sumber. Secepat
kilat Bumi mencari satu per satu jam weker yang suaranya sungguh memekakan
telinga. Di atas lemari, di bawah tempat tidur, di atas kulkas, di dapur, meja
tamu, sofa depan tv, digantung di balik pintu kamar mandi dan terakhir di dalam
box kotak sepatu. Delapan jam weker berbunyi dalam waktu bersamaan,
tepat jam dua belas malam.
“Panji Pradana…how dare you are”
Bumi menatap delapan jam weker di depannya. Ia lalu mengambil ponsel. Sebelum
Bumi mengetik pesan, sebuah pesan lebih dalu masuk.
(Panji)
“Tarik
napas dulu, Om. Capek nggak, naik turun tangga nyari jam weker? Haha.
Barakallah, Om. Semoga semakin jaya di laut, darat dan udara. Dan semoga segera
dipertemukan dengan tulang rusuknya ya. Masa’ iya, udah siap jadi tulang
punggung, belum ketemu sama tulang rusuk. Selamat mencari”
Seorang
Panji Pradana tak pernah kehabisan ide untuk membuat huru hara. Setelah Panji
pamit tadi sore, Bumi langsung ke percetakan dan minimarket. Dan baru kembali
pukul sepuluh malam. Saking lelahnya, ia tak memperhatikan ada setumpuk kardus
pembungkus jam weker di sebelah rak buku. Kardus-kardus itu baru ia lihat
setelah berhasil menemukan kedelapan jam weker.
*picture*
“Kurang
rapi mainnya. Kardus numpuk tuh”
Sent. Tak
sampai semenit, langsung ada balasan
(Panji)
“Ngaku,
Om. Lihat tumpukan kardus setelah semua jam ketemu kan?” haha
Terbangun
di tengah malam seperti ini akan sulit bagi Bumi untuk tidur lagi. Sepertinya
Bumi harus siap untuk terjaga sampai pagi.
Entah sudah berapa sepertiga malam Bumi lalui dalam kesendirian setelah Rania menikah dan tinggal di Jakarta, lalu kedua orang tuanya wafat. Meski tak lagi sama, Bumi selalu percaya salah satu waktu terbaik untuk meminta kepadaNya adalah saat sepertiga malam. Berbisik ke bumi, terdengar hingga ke langit. Seperti yang selalu orang tuanya ajarkan: “Ketuk pintu langit di tiap sepertiga malam. Apapun, minta selalu kepada Allah. Pasti akan dikabulkan. Sabar, itu kuncinya. Karena Allah Maha Tahu kapan waktu terbaik untuk mengabulkan permintaan hambaNya. Ingat ini Nak, yang Allah takdirkan untukmu sejauh apapun jaraknya pasti akan bertemu. Dan sebaliknya, jika bukan untukmu, sedekat apapun, tak akan bisa bersua ”
Sepertiga
malam kali ini terasa spesial, sebab bertepatan dengan hari ulang
tahun Bumi. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ada sebuah doa yang tak pernah ia lewatkan, yaitu bertemu dengannya yang akan menyempurnakan setengah agama. Berharap hingga detik itu tiba, saat cinta telah dianugerahkan,
semoga menjadi jalan untuk semakin dekat dengan cintaNya. Bumi yakin setiap
pinta akan Allah kabulkan. Mungkin cepat, mungkin sedikit lambat, tapi tidak pernah
terlambat. Karena waktuNya selalu tepat.
***
“Maaf
nunggu lama ya” Bumi baru saja datang dari minimarket setelah Rudi mengirim
pesan, bahwa orang yang tempo hari melihat kamar kost, sudah menunggunya.
“Belum
lama, Mas. Baru lima belas menit” ujar Rendi. Bumi dan Rendi lalu mengobrol
tentang rencana Rendi untuk pindahan hari ini. Rendi mahasiswa semester lima.
Ia memutuskan pindah kost karena tempat kost yang lama akan direnovasi oleh
pemiliknya.
Incoming
calling…
“Maaf
Mas Bumi, saya permisi angkat telepon dulu.” Rendi meminta izin Bumi untuk
mengangkat telepon.
Tak
lama berselang, sebuah motor memasuki halaman Dapur Ibu. Bumi segera
mengenali si pengendara.
“Anggi?”
“Om
Bumi?” tanya Anggi setelah melepas helm dan turun dari motor.
“Mbak,
susah nggak nyarinya?” Anggi menggeleng menjawab pertanyaan Rendi.
“Mas
Bumi, kenalin, ini kakak saya, Mbak Bulan”
“Mbak
Bulan, ini Mas Bumi, pemilik tempat kost ini”
Rendi
mengenalkan Bumi kepada Bulan dan sebaliknya.
“What a small word” ucap Bulan sambil tersenyum
“Bulan?”
Bumi menatap kedua kakak beradik di depannya ini.
“Iya,
Bulan. Namanya Bulan” Rendi mengulang menyebut nama kakaknya dengan sedikit
heran. Mengapa sepertinya Mas Bumi merasa aneh dengan nama itu.
“Bukan
Anggi?” tanya Bumi penasaran.
“Anggrek
Bulan lengkapnya. Lebih sering dipanggil Anggi. Bulan tuh panggilan zaman kecil sama keluarga aja" ucap Bulan.
“Ooh…I
see” Bumi mengangguk. Benar kata Bulan, dunia memang sempit.
“Karena
tidak sedang di panti, jangan panggil ‘Om’ ya” seloroh Bumi. Rendi menatap
kakaknya, meminta penjelasan. Bulan menjanjikan akan menerangkannya nanti.
“Tunggu,
kemarin Rendi bilang, kalian asli Malang, tapi pernah tinggal di Jakarta?.”
Tiba-tiba terlintas di pikiran Bumi beberapa kata yang saling berhubungan:
Bulan, Malang, Jakarta, co ass.
“Iya,
dulu kami sempat tinggal di Jakarta. Pindah ke Malang, ketika aku masuk SD”
ucap Bulan.
“Dulu
di Jakarta tinggal dimana?” Bumi merasa harus memastikan sesuatu.
“Perumahan
Alamanda Residence, Jakarta Selatan”
Bumi
menghela napas dan tersenyum. Semesta selalu punya cara untuk membuat plot twist bagi setiap penghuninya.
***
Lima
bulan kemudian…
"Sekarang
banget ini?" tanya Panji malas.
"Mas, udah. Nanti aja nggak apa-apa." ucap gadis cantik di sebelah Bumi.
"Nggak
apa-apa, sayang. Harus dimulai dari sekarang. Biar terbiasa" Bumi semakin
semangat menggoda Panji. Tangan Bumi bahkan sengaja merangkul si cantik di
sebelahnya.
"Selamat
Om Bumi dan Aunty Bulan atas pernikahannya. Semoga selalu penuh cinta dan
bahagia dunia akhirat."
"Aamiin"
ucap Bumi dan Bulan bersamaan. Bumi dan Bulan tahu, doa Panji tulus untuk
mereka berdua.
Panji
berjanji akan memanggil Bulan dengan panggilan 'Aunty' jika teman TK-nya itu
telah resmi menjadi istri sang paman. And now, officially Bulan is his aunt, setelah Bumi
menikah dengan Bulan tadi pagi.
Sebuah suara menghentikan perbincangan hangat antara newly wed dengan Panji.
“Kak
Bulan, selamat ya."
"Hai Wid, makasih ya udah datang." Bulan memeluk gadis berlesung pipi itu. Ia lalu memperkenalkan Widuri kepada Bumi.
"Kak, boleh foto nggak?" pinta Widuri
"Boleh dong. Ayok sini"
Widuri mengeluarkan ponsel dari clutchnya.
"Mas!, minta tolong fotoin kami ya." Widuri memanggil seseorang. "Kak, itu fotografernya kan? Bisiknya kepada Bulan. Bumi yang mendengar pertanyaan Widuri segera melihat ke arah yang dimaksud. Panji mendekat dan mengambil ponsel Widuri.
"Dia nggak lihat baju yang kupakai?. Seragam keluarga pengantin ini." bisik Panji diiringi tawa kecil Bumi.
Klik
Klik
"Pakai ini juga ya Mbak," ucap Panji menunjuk kamera DSLR yang dikalungkan di lehernya. Bumi dan Bulan tak bisa menahan tawanya. Panji benar-benar sukses cosplay menjadi seorang fotografer.
"Wid kenalin, ini Panji. Dan Panji, ini Widuri" ucap Bulan usai Panji mengembalikan ponsel Widuri.
"Oh, ya ampun. Maaf Mas, aku kira fotografer. Sekali lagi, maaf ya" Widuri tak henti-hentinya membungkukan badan sembari menggumamkan kata maaf.
Entah kisah seperti apa yang semesta siapkan untuk setiap penghuninya. Namun siapapun tak perlu risau tentang kesendirian. Sebab, semesta selalu punya cara untuk mempertemukan dua hati yang Allah takdirkan untuk bersama. Tidak selalu cepat, namun tidak pernah terlambat. Sebab waktuNya selalu tepat.
Hai
Hai wifey
i love you ya
(Bumi, kepada dia yang sepotong senyumnya mampu meluluh lantakkan hati)
***
Banjarnegara, 2023
Komentar
Posting Komentar