Jalan Kamboja No. 13 (part 4--end)

 Jalan Kamboja No. 13 (part 4--end)


pict from picsart


"Allahu Akbar..Allahu Akbar... Allahu Akbar" Tejo terus berdzikir. Tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil namanya dan di saat yang sama, lampu kamar padam. Tejo masih berdiri di depan jendela yang terbuka. Padahal ia yakin, tadi sore sudah menguncinya. 

"Mas Tejo..." kembali terdengar sebuah suara memanggil namanya. 

Tejo langsung membalik badan. Namun karena gelap, Tejo tidak dapat melihat dengan jelas. Hanya saja, Tejo merasakan kehadiran sesuatu di sekitarnya. Entah apa atau siapa. Tejo tidak tahu. Alam benar-benar berkonspirasi menguji nyalinya. Lampu kamar yang mendadak padam, hujan deras yang tiba-tiba turun. Ditambah dengan gelombang cahaya yang berjalan jauh lebih cepat daripada gelombang suara menghasilkan kilatan petir dan guntur yang memekakan telinga. 

Tejo mencoba tetap tenang. Ia merapal doa ketika mendengar petir. 

"Allahumma baarik lanaa"

"Aduh, kenapa malah doa mau makan" Tejo memukul pelan sisi kanan kepalanya, saat keliru melafadzkan doa.

'Allahumma laa taqtulna bi ghadhabika...' Tejo melafadzkan doa hingga selesai. Entah apa yang ada di hadapannya. Ia hanya berharap semoga Allah menghilangkan kecemasan dari hatinya, sehingga ia bisa memecahkan misteri di rumah ini. 

Hujan masih turun dengan deras. Suara petir tidak lagi terdengar saat ia bergegas menuruni tangga dengan langkah lebar masuk kamar dimana anak dan istrinya berada. Tak lupa Tejo mengambil lilin dan menyalakannya. 

Hanya sebuah lilin di pojok kamar yang menjadi sumber cahaya malam itu. Selebihnya, rumah di jalan Kamboja No. 13 itu tampak gelap gulita. Sesekali terdengar suara menggelegar saat petir menyambar. Hujan turun semakin deras membuat suhu semakin dingin. 

Satu jam berlalu, namun mata Tejo tidak jua terpejam. Kini ia yakin, ada penghuni lain di rumah ini selain mereka bertiga. Tejo mulai berpikir untuk membicarakan persoalan ini dengan Surti. Meskipun ia sedikit ragu, apakah Surti tetap mau tinggal di rumah kontrakan ini setelah tahu bahwa ada penghuni lain di dalamnya. Masalah ini benar-benar membuat otaknya penat. Entah berapa lama hingga akhirnya Tejo berhasil terlelap di tengah kebimbangan hatinya untuk menceritakan atau tidak kepada Surti perihal hantu wanita di kamar lantai dua.

Tejo terbangun saat sebuah tangan mungil menepuk pipinya lembut. Lampu sudah menyala saat mata Tejo terbuka sempurna. 

"Eh, anak ayah sudah bangun?" Budi tertawa saat Tejo mencium gemas pipi gembilnya. 

"Mas, adzan udah dari tadi loh. Sebentar lagi iqomah. Buruan ke masjid." Surti datang membawa satu gelas air putih hangat dan memberikannya kepada Tejo. 

Sisa-sisa hujan semalam masih terlihat. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Daun-daun berguguran dan jalanan yang tampak sepi dengan beberapa genangan air membuat Tejo harus berhati-hati melangkah agar tidak menginjak genangan. Untuk sampai ke masjid, Tejo harus keluar gang terlebih dahulu. Lalu belok kanan kurang lebih 300 meter.

Beberapa langkah sebelum ujung gang, tiba-tiba Tejo merasa ada yang mengikutinya. Terdengar langkah kaki tepat di belakangnya. 

Tejo berhenti melangkah, tidak langsung melihat ke belakang. Ia mencoba menerka siapa gerangan yang mengikutinya. Rumah Mbah Sastro di ujung gang masih tampak sepi. Tidak ada lagi rumah selain kediaman Mbak Sastro dan rumah yang ia tempati di sepanjang gang ini. Lurus terus masuk ke dalam gang adalah sebuah pemakaman umum. Demi menghilangkan rasa penasarannya, Tejo memutuskan melihat ke arah belakang. Namun tidak ia jumpai siapapun di sana. Sepi. 

Tejo segera bergegas melanjutkan perjalanan ke masjid. Ketika ia melangkahkan kaki, kembali terdengar langkah lain yang mengikutinya. Kali ini ia memilih tetap berjalan meski didera rasa penasaran. Sebab suara muadzin sudah terdengar mengumandangkan iqomah. 

*****

Tejo mencoba berkonsentrasi di tempat ia bekerja. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan yang ia alami di rumah cukup membuat fokusnya terpecah. Apalagi semalam waktu tidurnya berkurang.  

Harapan Tejo untuk segera pulang dan beristirahat menguap begitu saja saat ada pekerjaan tambahan yang harus ia selesaikan. Ia segera mengirim pesan singkat melalui whatsApp kepada Surti, mengabarkan bahwa ia akan pulang terlambat. Sudah menjadi kebiasaan Tejo, setiap kali ia lembur maka ia meminta istrinya untuk tidak menyiapkan makan malam. Karena selalu ada jatah makan malam bagi setiap karyawan yang melakukan kerja tambahan. 

Tepat pukul sebelas malam, dengan tubuh yang sangat lelah, Tejo tiba di rumah. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Tejo mengambil air putih dan meminumnya. Sebelum berbaring di ranjang,  Tejo melakukan satu lagi kebiasaanya sebelum tidur, yaitu bercermin. Ia selalu ingin memastikan bahwa uban di rambutnya belum bertambah. 

"Ini kenapa ada double tip disini?" gumam Tejo sambil menyingkirkan double tip dari cermin. Setelah memastikan belum ada uban yang tumbuh lagi di rambutnya, ia segera berbaring di sisi kanan Budi. Sedangkan Surti sudah terlelap di sisi kiri Budi. 

Saat mata Tejo hampir terpejam, dilihatnya Surti membuka mata. Tejo yang sudah sangat mengantuk hanya bergumam pelan. 

"Dik,  besok Mas berangkat pagi-pagi. Soalnya mau ada tinjauan dari bos besar. Maaf ya, dua hari ini nggak bantu-bantu pekerjaan rumah." Dengan sedikit kemampuan menahan kantuk yang masih tersisa, Tejo menyampaiakan permintaan maafnya kepada Surti.

Senyum Surti dan anggukan kepalanya adalah hal terakhir yang Tejo lihat sebelum akhirnya mata Tejo terpejam sempurna. 

*****

Pagi ini Tejo bangun kesiangan. Budi masih terlelap dengan posisi yang sama seperti semalam saat Tejo memutuskan langsung mandi ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 05.00. 

Tejo bergegas menuju kamar mandi yang ada di dekat tangga saat mendengar bunyi kran dari kamar mandi yang terletak di kamar. 

Dengan sangat tergesa, Tejo menyelesaikan segala ritual paginya hanya dalam hitungan menit. 

"Dik, Mas berangkat dulu. Udah kesiangan ini." Tidak ada jawaban dari kamar mandi. Bunyi kran masih terdengar. Tiga kali Tejo memanggil Surti dan mengetuk pintu kamar mandi, namun tidak juga mendapat jawaban, Tejo pun memutuskan segera berangkat. 

Saat akan melajukan motornya, ponsel Tejo berdering. Terdapat sebuah nama yang membuat bulu kuduk Tejo seketika berdiri. 

Dik Surti is calling

Dengan ragu, Tejo menggeser tombol hijau di poselnya.

"Assalaamualaikum" pelan Tejo bersuara

"Waalaikum salam. Mas, lama banget angkat teleponnya"

"Maaf, ini siapa ya?"

"Mas Tejo masih tidur ya? Mengigau apa gimana ini?. Pake nanya ini siapa." suara omelan di seberang membuat Tejo yakin bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah Surti, istrinya. 

"Mas, maaf ya aku baru telepon. Kemarin pulsa sama paket internet habis. Semalam nggak sempat beli. Panik pas dikasih tahu kalau Mbak Lastri mau lahiran. Jadi langsung pergi gitu aja" suara Surti masih terdengar, namun pikiran Tejo sibuk mencerna kejadian semalam. Siapa yang tidur bersamanya, jika Surti sedang menemani kakaknya. 

"Budi mana?" Tejo bertanya sambil membalik badan menghadap rumah dengan nomor tiga belas itu. 

"Ada di rumah Ibu. Mas nggak baca tulisan aku ya?" tanya Surti.

"Tulisan apa?" Tejo masih tak habis pikir dengan semua yang dialaminya. Matanya menatap waspada ke arah rumah.

"Tulisan yang aku tempel di cermin. Mas gimana sih, kok nggak baca tulisan aku?." Tejo masih terus menatap bangunan tua di hadapannya. Sementara Surti masih terus berbicara di telepon. 

"Mas.. Hallo.. Mas..dengerin aku ngomong nggak?" suara Surti meninggi.

"Iya..iya mas dengar. Mas tutup dulu ya. Nanti sore mas jemput di rumah ibu"

"Iya Mas. Jangan lupa sarapan ya."

Entah Surti sudah selesai bicara atau belum, Tejo segera mengakhiri pembicaraan mereka. Tejo menatap rumah besar di hadapannya yang baru ia tinggali satu bulan ini. Ia merasa harus segera mengambil keputusan. Ia akan mencari rumah kontrakan yang lain dan segera pindah dari rumah di Jalan Kamboja No. 13 ini. Dengan atau tanpa persetujuan Surti.


--end--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL: PEREMPUAN MISTERIUS